Lumajang
Respon Penebangan di Petak 14H, Wakil DPRD Lumajang Minta Perhutani Pertimbangkan Geografis dan Tekstur Tanah di Burno
Memontum Lumajang – Penebangan hutan secara terus menerus oleh pihak Perhutani di Desa Burno, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, terus menuai sorotan. Kali ini, giliran Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lumajang, H Bukasan, yang turut angkat bicara.
Dirinya menyampaikan, bahwa banjir dan tanah longsor yang sering terjadi akhir-akhir ini, disinyalir salah satu penyebabnya karena banyaknya hutan yang sudah gundul. “Banjir bandang di Ranu Pane misalnya, adalah fakta nyata bahwa telah terjadi ketidakseimbangan fungsi ekologi di area tersebut,” ungkap politisi senior PDI-Perjuangan kepada Memontum.com, Rabu (07/12/2022) tadi.
Menurut H Bukasan, bahwa penebangan pohon yang dilakukan dengan skala besar dengan alibi telah mengantongi surat dari Kementerian, karena masuk masa daur tebang dengan tidak memperhatikan kondisi lingkungan, adalah hal yang tidak dibenarkan. Karena, hal itu bisa menjadi salah satu faktor pemicu bencana. Sedangkan kalau rakyat mengambil rencek (ranting dan batang kayu kering, red), malah justru dinilai sebaliknya.
“Mestinya, Perhutani tidak menebang keseluruhan di petak 14H tersebut. Namun, harus mempertimbangkan juga kondisi geografis dan tekstur tanah di Burno. Apalagi, dalam dua tahun terakhir terjadi cuaca ekstrim. Tentulah dengan kondisi tersebut, menjadi sangat membahayakan bagi lingkungan setempat dan masyarakat. Sebab tanpa adanya pohon-pohon besar di hutan tersebut, kemungkinan terjadinya tanah longsor menjadi lebih tinggi,” ujar H Bukasan.
Lebih lanjut H Bukasan menegaskan, harus ada langkah nyata dari pemerintah pusat dan daerah, agar ancaman bencana tanah longsor dan banjir bisa diminimalisir. Setidaknya, tidak membiarkan Perhutani, untuk terus melakukan penebangan yang bertubi-tubi dengan skala besar. Apalagi, masyarakat juga sudah memberikan masukan, seperti yang terjadi di Desa Burno.
Baca juga :
- Kelanjutan Proyek WTP, Sekda Kota Malang Tegaskan Tunggu Persetujuan Lingkungan
- DPC PKB Trenggalek Kuatkan Konsolidasi Pemenangan Pilgub dan Pilbup 2024
- Pendapatan Pajak Kota Malang Triwulan III Lampaui Target, PBJT Mamin dan BPHTB di Angka Lebih 60 Persen
- Masa Kampanye Pilkada 2024 Bakal Jadi Perhatian Operasi Zebra Semeru
- Sekda Kota Malang Soroti Tingginya ASN Muda yang Tidak Lolos BI Checking di Pengajuan Kredit Perumahan
Di lain pihak, Aktivis Lingkungan, Deddy Hermansjah, yang juga sebagai Ketua LSM Raja Giri, mengatakan bahwa dirinya beserta jajaran pengurus LSM yang dipimpinnya, tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkan keadilan ekologi. “Dahulu, itu saya pernah menaruh harapan besar kepada Perhutani, sebagai sebuah badan usaha milik pemerintah yang di dalamnya diisi banyak rimbawan hebat. Sehingga, bisa dibanggakan karena mampu pengelola hutan tropis terbaik di dunia. Ternyata, harapan saya itu salah,” kata Deddy.
Menurutnya, fakta adanya penebangan hutan bertubi-tubi di Burno dengan mengabaikan aspek ekologi, juga melanggar komitmen yang telah dibangun bersama dalam pelaksanaan program perhutanan sosial. Bahwa, program tersebut menjadi program andalan pemerintah saat ini serta tidak mengindahkan local wisdom setempat adalah contoh nyata bahwa perusahaan plat merah ini memposisikan diri sebagai lembaga superior.
“Faktanya, mereka (Perhutani KPH Probolinggo, red) berani mengingkari komitmen yang telah disepakati bersama dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di Desa Burno. Entah apa yang mendasarinya, padahal perhutanan sosial merupakan salah satu program andalan Presiden Jokowi,” ungkapnya.
Sudah saatnya, lanjut Deddy, pemerintah melakukan evaluasi terhadap keberadaan badan usaha milik negara ini. Pihaknya mempertanyakan, masihkah ada manfaat baik terhadap keberlanjutan pembangunan kehutanan di Pulau Jawa dan Madura.
Bahkan ke depannya juga mengemban tugas strategis, yaitu modernisasi ekologi di mana pertumbuhan ekonomi dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologis dan kepentingan sosial budaya.
“Rimbawan sejati itu memposisikan ekologi sebagai panglima. Sebaliknya, bukanlah rimbawan jika ekologi hanya sekedar dijadikan jargon,” ujarnya. (adi/gie)