Surabaya
Risma Sambat Kotanya Krisis Guru, Outsourcing Diisi Orang Luar Kota
Memontum Surabaya—Walikota Surabaya Tri Rismaharini sambat alias mengeluh atas problem yang dihadapi kota yang dipimpinnya. Bagaimana tidak, Surabaya dengan alokasi anggaran bidang pendidikan sebesar 30 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga mendekati Rp 7 triliun lebih bisa kekurangan tenaga guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sekolah Dasar (SD) adalah yang paling banyak kekurangan guru. Risma mengatakan jika diawal periode jabatannya sebagai walikota, jumlah ASN Pemkot ada 23 ribu, dan kini hanya berjumlah 13 ribu. Faktor penurunan ini dipicu keberadaan ASN yang pensiun hingga 10 ribu orang dalam waktu delapan tahun. Selain itu, polemik guru SD yang memutuskan untuk pindah wilayah dan berembel-embel ikut sang suami.
“Makanya aku sedih, kemarin itu kan banyak guru-guru SD yang dia masuknya tuh golongan dua. Terus akeh sing enom-enom (banyak yang muda-muda), terus kawin (nikah) oleh wong (orang) Jombang, pindang nang Jombang. Aduh capek ngomong, bojone kongkon nyambut gawe nang Suroboyo ae lah,” keluh Risma.
Merasa bingung dan resah, beberapa kali Risma rapat dengan sekretaris kota, juga jajaran pimpinan organisasi, pimpinan daerah di Pemkot. Dan mengatakan, semua harus siap menjadi pengajar jika Surabaya benar adanya akan terjadi krisi guru SD.
Risma juga menyampaikan, jika menjadi seorang guru SD tak semudah yang dilihat. Harus menguasai semua mata pelajaran, bahkan dirasa tak sebanding dengan guru SMP dan SMA.
“Ya kan susah kalau aku disuruh ngajar guru SD. Guru SD itu berat, dia harus bisa semua, ya ngajar matematika, ya ngajar Bahasa Indonesia, ngajar nyanyi. Harus bisa semua guru SD itu, lebih berat dibandingkan guru SMP dan SMA,” jelas Risma.
Keluh Risma tersebut dibenarkan oleh Aston Tambunan Sekertaris Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya terkait guru khususnya tingkat SD yang memilih berpindah daerah.
“Kendalanya, jadi untuk melamar, bagaimanapun dia ikut Surabaya atau karena tertarik sama Surabaya. Itu kenapa? Tapi begitu kira-kira 4 tahun, kemudian atau 5 tahun. Kemudian dia cenderung kembali ke daerahnya. Keinginan untuk pindah ke daerah nya itu sangat besar,” kata Aston, Rabu (21/11/2018).
Akan tetapi, dari Dispendik memiliki dua langkah untuk mengatasi. Yakni melakukan merger dan sudah dilakukan selama lima tahun di SD Negeri, karena dengan merger dapat menjadikan satu komplek sekolah dan satu kepala sekolah. Kedua, akan memiliki kelebihan guru yang siap dipindah ke sekolah yang kekurangan.
“Sisanya ditempatkan di sekolah-sekolah yang kekurangan. Nah guru-guru yang lainnya itu pasti kelebihan karena kelasnya akan digabung. Nah untuk kelebihan guru-gurunya akan ditempatkan di sekolah-sekolah lain,” ujarnya.
Dari marger selama lima tahun ini, mampu menjadikan lembaga SD yang sebelumnya 600 sekolah, sekarang menjadi 309, karena penggabungan. Aston juga mengunggapkan, jika di tahun 2018 ini akan mendapatkan guru dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD), setelah sekian tahun tidak dapat guru.
“Setelah 3 tahun tidak mendapatkan guru SD, tahun ini Dinas Pendidikan akan mendapatkan guru SD dari BKD,” tutupnya.
Guru Outsourcing SMPN Diisi Orang Luar Kota
Sementara itu, sejumlah guru di sekolahan swasta mengeluhkan kebijakan Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya yang memasukkan guru outsourcing dari luar kota untuk mengajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Padahal, banyak guru di sekolahan swasta dengan kemampuan mumpuni siap membantu mengajar di SMPN.
“Kenapa harus mengambil guru dari luar kota? Kita ini dari sisi skill mampu kok. Selama ini kita mengajar di sekolahan swasta,” kata salah satu guru sekolah swasta di wilayah Surabaya utara, Rabu (21/11/2018).
Yang membuat guru di sekolah swasta merasa kurang diperhatikan Dispendik adalah gaji yang diterima guru outsourcing asal luar kota yang standart Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya. “Kami tidak berani protes karena khawatir nanti ada apa-apa dengan izin operasional sekolahan swasta tempat mengajar kami,” tuturnya. (est/ano/yan)