Hukum & Kriminal
Jalan Damai Dugaan Penganiayaan Terhadap Santri Tak Ada Solusi, Keluarga Korban Bersiap Lanjutkan Perkara
Memontum Malang – Peristiwa dugaan penganiayaan yang menimpa korban MBA (16), warga Kelurahan Tunjungsekar, Kecamatan lowokwaru, Kota Malang, sepertinya bakal berbuntut panjang. Itu karena, MBA yang berstatus sebagai santri di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, melaporkan SDM (24) yang bertugas sebagai bagian keamanan bidang penindakan, ke Polsek Pakis.
Peristiwa dugaan penganiayaan sendiri, berlangsung Rabu (16/10/2024) dini hari. Sementara akibat dari kejadian itu, MBA mengaku mengalami luka memar dan trauma.
“Kami meminta keadilan untuk anak saya. Demi masa depan pendidikan dan kesehatan anak saya yang masih di bawah umur. Semoga ada tanggung jawab sepenuhnya dari pihak Ponpes dan juga pelaku. Kalau tidak ada mufakat, kami akan tetap menempuh jalur hukum agar peristiwa seperti ini tidak terulang kembali,” kata Deddy Dwi Fitrianto (40), ayah kandung MBA, Rabu (23/10/2024) tadi.
Deddy menceritakan, bahwa dirinya mengetahui anaknya telah dianiaya pada Rabu (16/10/2024) siang. “Anak saya telepon dan mengatakan telah dianiaya pada Rabu dini hari oleh Sdm, pengurus Ponpes bagian keamanan bidang penindakan. Gara-garanya, anak saya memakai kaos dan celana pendek saat gosok gigi,” tambahnya.
Saat itu, ujarnya, MBA ditegur dan ditanya tentang surat peringatan (SP) dari Ponpes, yang pernah diterimanya karena masalah lain. “Di SP itu, memang harus ada tanda tangan beberapa guru. Tapi memang ada guru yang belum tanda tangan. Sudah dijelaskan anak saya. Entah mengapa, tiba-tiba Sdm malah emosi dan memukul,” tambahnya.
Baca juga :
Pukulan itu mengarah ke mata kanan dan kiri MBA hingga memar. “Saya langsung datang ke Ponpes. Setelah melihat anak saya memar, saya menemui pengurus Ponpes. Saya juga melaporkan penganiayaan ini ke Polsek Pakis,” terang Deddy.
Pasca kejadian itu, Sdm dan salah satu ustad di Ponpes sempat mendatangi rumah MBA. “Khusus pelaku mengaku akan bertanggung jawab sebisanya. Tapi sampai sekarang, bentuk pertanggungjawabannya bagaimana, tidak jelas. Dia tidak sadar, perbuatannya juga membuat anak saya trauma,” tambahnya.
Sementara itu, MS Alhaidary SH MH, penasihat hukum Deddy membenarkan peristiwa itu. “Kami menuntut keadilan atas apa yang dialami korban. Nantinya, kalau para pihak mau ada niat dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan, itu menjadi ranah mereka,” ujar Alhaidary.
Namun jika tidak ada penyelesaian, ujarnya, pihaknya meminta pihak kepolisian segera menindak lanjuti kasus ini. “Kalau tidak ada penyelesaian, agar pihak kepolisian segera menindak lanjuti dengan proses secara hukum. Menerapkan Undang-undang Perlindungan Anak. Sebab korban adalah anak di bawah umur. Kami mempertimbangkan masa depan anaknya, masa depan pendidikannya dan pesantrennya,” tegasnya.
Alhaidary menegaskan bahwa perbuatan pelaku bisa disanksi pidana. “Dalam pandangan saya, perbuatan yang dilakukan oknum pengurus Ponpes itu masuk dalam katagori yang diatur dalam Pasal 82 UU No 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” tegas Haidary.
Sementara itu, Kapolsek Pakis, AKP Suyanto, saat dikonfirmasi Memontum.com, membenarkan adanya laporan tersebut. “Sudah dimediasi tapi belum ada titik temu. Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan saksi – saksi kemudian dilimpahkan ke Unit PPA Polres Malang karena korban masih anak-anak,” ujarnya, Rabu (23/10/2024) sore. (gie)