Kota Malang

Masuk Tahun Baru Muharram, Komplek Pesarean Ki Ageng Gribig Malang Gelar Tradisi Mbubar Mbubur Suro

Diterbitkan

-

TRADISI: Proses pembuatan jenang bubur suro di Komplek Pesarean Ki Ageng Gribig, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. (memontum.com/rsy)

Memontum Kota Malang – Memasuki Tahun Baru Islam 1 Muharram, Kampung Gribig Religi (KGR) menghadirkan ritual tahunan yang dikenal dengan sebutan Mbubar Mbubur Suro di Komplek Pesarean Ki Ageng Gribig, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Rabu (19/07/2023) tadi.

Ketua Pokdarwis KGR, Devi Nur Hadianto, mengatakan bahwa kegiatan tersebut telah menjadi bagian dari visi misi pokdarwis untuk mengembangkan kepariwisataan, khususnya di Komplek Pesarean Ki Ageng Gribig tersebut. Terlebih, dalam setahun KGR menggelar enam acara yang berbeda-beda.

“Kami ada enam acara dalam setahun. Diantaranya, konsep bubur atau njenangan. Yang saat ini kita jalani, itu njenang suro atau mbubur suro. Ini telah kita awali pada tahun 2020 lalu, dengan harapan jejak kami sebagai objek wisata religi tetap eksis dan berkelanjutan sampai sekarang,” ujar Devi tadi.

Baca juga:

Advertisement

Kemudian, Devi juga menjelaskan bahwa bubur tersebut memiliki makna dan filosofi yang tersendiri. Bubur yang memiliki warna putih ini melambangkan awal tahun dan awal doa bagi masyarakat Jawa. Sehingga, tradisi tersebut mengajarkan untuk selalu berbaik sangka dan berharap kebaikan selama setahun ke depan.

“Kita orang jawa hendaknya selalu berbaik sangka. Mengawalinya itu pakai putih, sae, bagus. Dengan harapan dalam satu tahun ke depan apa yang kami harapkan, apa yang kita nikmatkan kepada tuhan semua baik-baik saja. Termasuk kepada semua yang ada di lingkungan masyarakat,” katanya.

Selain berwarna putih, bubur suro ini juga memiliki toping yang melambangkan awal penghidupan, seperti telur, ayam atau ikan, serta beberapa unsur lain. Terlebih, juga harus selalu disajikan dengan daun sebagai simbol harapan akan kehidupan dan doa untuk tahun-tahun mendatang.

“Menurut beberapa tetua kita, tradisi seperti itu jangan sampai diubah. Sebab ada harapan ada penghidupan, ada doa dan ada keinginan yang mungkin bisa terkabul di tahun-tahun yang akan datang,” tambahnya.

Berdasarkan perkembangan dari tahun ke tahun, acara tersebut mengalami peningkatan jumlah bubur yang dibuat. Jika pada tahun sebelumnya hanya sekitar 200 takir bubur yang dimasak, tahun ini jumlahnya meningkat hingga hampir 20 kilogram beras.

Advertisement

“Belum tahu ini nanti jadinya berapa, tapi semoga bisa mencapai sekitar 300 takir bubur untuk dibagikan kepada semua masyarakat yang hadir, baik yang datang untuk berziarah maupun berdoa di komplek makam Ki Ageng Gribig ini,” lanjutnya.

Meskipun bubur tersebut dibagikan kepada para pengunjung dan peziarah, namun tetap disajikan dengan cita rasa yang enak dan gurih. “Kami ingin setiap pengunjung dan peziarah yang datang agak banyak di bulan suro ini bisa mencicipi jenang suro atau bubur suro yang dibikin oleh pegiat atau masyarakat RW 4 atau sekitar makam ini. Agar sama sama merasakan kenikmatan bubur suro kami, sekaligus menganggapnya sebagai sesuatu yang lezat dan berkesan,” imbuhnya. (rsy/sit)

Advertisement
Lewat ke baris perkakas