Kota Malang
Milih atau Tidak, SPP Tidak Turun dan Harus Bayar, Picu Mahasiswa Golput
Memontum Kota Malang – Generasi milenial dari kalangan mahasiswa menjadi target Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu 2019. Dimana usia kurang dari 20 tahun 17.501.278 orang, dan usia antara 21-30 tahun 42.843.792 orang, dari total 190.770.329 orang. Sayangnya, politik bagi civitas akademika merupakan hal biasa dan tak perlu dihebohkan. Sementara sosialisasi KPU terhadap mahasiswa sebagai pemilih pemula, apalagi yang merantau jauh dari daerah asal sebagai pemilih pindahan, tidak mendapatkan penjelasan secara lengkap.
“Sikap apatis ini karena mahasiswa merasakan, memilih atau tidak memilih, uang SPP tetap tidak turun dan harus dibayar. Jadi dampak kebijakan pemimpin terpilih nantinya tidak langsung dirasakan oleh mahasiswa. Selain itu, menurut mereka, mereka kurang mengerti bagaimana untuk mendapatkan hak pilih, khususnya bagi mahasiswa perantauan. Sosialisasi KPU terkait hal itu juga dirasa kurang,” jelas Andhyka Muttaqin MPA, dosen jurusan administrasi publik FIA UB, saat menjadi narasumber Bonsai (bincang dan obrolan santai) bertemakan Partisipasi Politik dalam Dunia Kampus, di ruang jamuan UB gedung Rektorat lantai 6, Rabu (6/2/2019) siang.
Andhyka menambahkan, diperkirakan sekitar 27.500 mahasiswa dari 55.000 mahasiswa UB, akan menjadi golput administratif jika tak diwadahi dalam menyalurkan hak pilihnya. Hal ini lantaran mereka berasal dari luar daerah dan luar propinsi. “Mau pulang sehari untuk coblosan saja, mereka sudah mikir ongkos transportasi. Contohnya 40 persen mahasiswa UB dari Jadebotabek. Sudah kebayang kan ongkos pulang pergi? Belum lagi kampus lainnya. Kalau semisalnya diwadahi dibuatkan TPS dan sosialisasi di kampus, setidaknya cukup meminimalisir golput,” terang Andhyka.
Dari penjajakan kepada mahasiswa, lanjut Andhyka, aturan dilarang kampanye di kampus menjadi stagnya pembelajaran politik bagi mahasiswa. Banyak peraturan yang kurang tersosialisasi dengan baik. Sehingga hal ini turut menyumbang angka golput dari mahasiswa karena sikap apatis, cuek dan antipati.
Senada, dosen FISIP UB, Maulina Pia Wulandari, mengkritisi beberapa aturan yang tak jelas yang diibaratkan pasal karet. Saat dosen yang notabene sebagai ASN dilarang ikut kampanye atau berpolitik, dosen akan lebih berhati-hati. Sikap tersebut secara tidak langsung juga tidak mengedukasi mahasiswa agar ikut berpolitik dengan hak suaranya. Sehingga keduanya sama-sama apatis.