Kota Batu
Dugaan Fee Proyek 5-10 Persen dan Mal Administrasi Proyek di DLH Batu, KPK Berikan Atensi Serius
Memontum Kota Batu—-Ada dugaan fee proyek di Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu menjadi atensi serius pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bila setiap proyek pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa dipotong 5-10 persen untuk memberikan suap, Laode M Syarif Wakil Ketua KPK tidak membayangkan kualitas barang/konstruksi yang nanti diperuntukkan untuk masyarakat. Jangan sampai ada permasalahan suap lagi di Pemkot Batu khususnya.
Laode berharap ada pelajaran penting terkait terciduknya Eddy Rumpoko dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) silam. Dia menyebut ada kesamaan pola dari serangkaian penangkapan Kepala Daerah yang terlibat korupsi. Hal ini ditunjukkan dari pemberian fee 10 persen dari total nilai proyek pemerintah seperti Wali Kota Batu Eddy Rumpoko.
“Dari serentetan OTT yang dilakukan KPK dalam beberapa bulan terakhir, ada motivasi atau hal-hal mengapa orang-orang melakukan penerimaan suap dengan memotong uang dari proyek itu rata-rata hampir 10 persen. Jadi 10 persen ini kelihatannya menjadi norma umum dari setiap anggaran pemerintah,” kata Laode melalui telepon, Kamis malam (22/3/2018).
Laode khawatir hal ini akan berimbas pada kualitas bangunan atau pengadaan barang dan jasa yang dipakai. Karena yang akan rugi adalah rakyat.
Dia mencontohkan kasus Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, yang tersandung kasus suap proyek belanja modal dan mesin pengadaan meubelair di Pemkot Batu tahun 2017 dengan nilai proyek Rp 5,26 miliar, meminta jatah sekitar 10 persen dari nilai proyek. Sehingga Eddy menerima jatah Rp 500 juta.
” Oleh karena itu jangan dilihat jumlah uang transaksinya tapi bagaimana yang didapatkan dari proyek yang besar itu, agar sesuai yang direncanakan oleh pemerintah. Karena yang dirugikan itu masyarakat secara umum,” ucap pria yang juga menjadi ahli pendidikan dan pelatihan proyek pengendalian korupsi Indonesia, USAID.
Menanggapi dugaan fee proyek di DLH Kota Batu, Laode masih belum mau memberikan keterangan secara pasti apa langkah yang akan diambil oleh lembaga anti rasuah ini.
” Efek negatifnya bisa mematikan persaingan sehat karena yang ditunjuk hanya perusahaan tertentu saja. Dampak matinya persaingan sehat, akan menimbulkan gejolak baru, ” urainya.
Sebelumnya, ada beberapa pihak rekanan yang memang mengakui adanya fee proyek senilai 5-10 persen di setiap titik pekerjaan yang wajib dikembalikan kepada pihak dinas dengan alasan untuk biaya lain-lain. Jika tidak, dipastikan para rekanan tidak akan diberi pekerjaan jenis penunjukkan langsung (PL) di Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
“Ya setiap pekerjaan kami wajib memberikan fee 5-10 persen yang diserahkan kembali ke pihak dinas. Kalau tidak memenuhi ya bisa-bisa kami nanti tidak dikasih pekerjaan dianggaran berikutnya, ” terang salah satu rekanan berinisial DNA.
Saat ditanya adanya dugaan kongkalikong dalam beberapa proyek di DLH dibuktikan adanya pelaksanaan pembangunan sebelum adanya Surat Perintah Kerja (SPK) atau maladministrasi, DNA mengiyakan jika itu sering terjadi di DLH. DNA memaparkan beberapa jenis proyek di DLH meliputi pembangun taman dibeberapa sudut Kota Batu, pengadaan mesin kebersihan dll.
“Ya sering mas, kalau saya sendiri tidak berani. Jika disuruh pun lebih baik saya mundur dari pada beresiko. Tapi banyak rekanan yang mau menuruti kemauan dinas, ” pungkasnya. DNA pun enggan menjelaskan lagi secara rinci dugaan kongkalikong dalam memperoleh sebuah proyek di DLH Batu.
Hingga berita ini ditulis Arief As Shidiq Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu masih belum bisa dihubungi, saat dihubungi nomor pun tidak aktif. (lih/yud)