Kota Malang
KTP-elektronik: Dilema Konstitusi Antara KPU dan Panwaslu
Lalu peran Panwaslu ada dimana? Mengingat tugasnya adalah melindungi hak konstitusi WNI. Sementara sekian ribu WNI berpotensi kehilangan hak pilih.
Ambil contoh di Lapas Kelas IIA Lowokwaru, Kota Malang. KPU Kota Malang, menerima data warga binaan sejumlah 2500an. Dari jumlah itu, 500an warga binaan asal Kota Malang bisa terlacak NKK dan NIK nya. Tapi belum dipastikan apakah memiliki KTP-elektronik. Lebih krusial lagi, warga binaan sejumlah 2000an tersebut, tidak tercatat NKK dan NIK-nya. Maka dipastikan 2000 warga binaan ini, hilang hak pilihnya.
Sebagai lembaga yang salah satu tugasnya melindungi hak konstitusi WNI, sekiranya Panwaslu juga belum melakukan upaya strategis, soal NKK, NIK dan KTP-elektronik. Menurut saya, sebagai lembaga yang bisa menyelesaikan sengketa pilkada, Panwaslu bisa saja mengeluarkan rekomendasi agar KPU mengakomodir warga binaan Lapas yang belum ditemukan NKK dan NIKnya ini, untuk menggunakan hak pilihnya. Toh orangnya benar-benar ada di dalam Lapas.
Begitu juga pemilih yang belum melakukan perekaman KTP-elektronik dan tidak memiliki suket. Karena WNI ini sudah dipastikan ada, oleh PPDP saat melakukan coklit. Dasarnya adalah hak pilih merupakan hak azazi dalam berdemokrasi. Maka sudah seharusnya Panwaslu melindungi hak konstitusi tersebut. Jika rekomendasi Panwaslu dinilai beresiko menabrak UU Pilkada, masih dimungkinkan Bawaslu mengajukan usulan ke Presiden dan DPR untuk mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang).
Bahkan dimungkinkan juga Bawaslu mengajukan judicial reviuew ke MK (Mahkamah Konstitusi), agar menghapus klausul dalam UU Pilkada yang mengharuskan pemilih wajib mempunyai KTP-elektronik dan harus menunjukkan KTP-elektronik ke KPPS. Maka WNI yang mempunyai hak pilih adalah mereka yang terdaftar dalam DPT yang sudah benar-benar dipastikan keabsahannya melalui coklit oleh PPDP. (*)