Kota Malang

Luruskan Mindset Melalui Mahasiswa, SDA Migas Sepenuhnya Masih Milik NKRI

Diterbitkan

-

Memontum Kota Malang—Selama ini, mahasiswa sebagai corong perubahan menganggap Indonesia yang kaya akan tambang minyak dan gas bumi (migas), telah mengabaikan kepentingan masyarakat. Pun halnya masyarakat pada umumnya, yang melihat pemerintah lebih mementingkan pihak asing untuk mengelolanya dan menganggap pihak asing telah menguasai aset migas negara, hingga berdampak kebijakan yang tidak pro rakyat.

Hal ini wajar jika dilihat dari kaca mata rakyat yang merasakan ketidakadilan tersebut. Namun menjadi salah, jika tidak dilihat secara keseluruhan. “Pendapat inilah yang perlu diluruskan pada masyarakat, dan mahasiswa ketika demo tentang SDA. Bahwa kekayaan alam, terutama minyak dan gas bumi (migas), yang sebenarnya kita tidak terlalu kaya, namun hanya kaya akan bauran energi. Adalah milik bangsa Indonesia dan NKRI. Sebab untuk menemukan tambang migas, biaya yang dibutuhkan sangatlah besar. Sehingga menjadi tidak mungkin untuk dikerjakan sendiri, maka pemerintah menggandeng pihak asing,” jelas Didik S Setyadi, Kepala Divisi Formalitas SKK Migas, saat menjelaskan kepada mahasiswa UB, Polinema, UMM, ITN, UIN, masyarakat umum, dan awak media, dalam dialog terbuka bertajuk “Tambang Minyak dan Gas Bumi milik siapa?”

Sebagai penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas), peran SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) menjadi benteng penyelamat aset terbesar Indonesia, berupa tambang migas, sekaligus sumber pendapatan tertinggi kedua Indonesia dengan Rp. 300 triliun per tahun. “Rakyat tahunya bensin murah. Namun masyarakat tidak tahu apa itu eksplorasi, eksploitasi, hulu dan hilir,” tambah Didik.

Tahun 1970 hingga 1990-an, lanjut Didik, Indonesia menghasilkan minyak 1 hingga 1,4 juta barel per hari, dimana kebutuhan minyak masih dibawah 500.000 barel per hari. Sehingga surplus ekspor dan hasilnya dapat digunakan dalam pembangunan (Repelita) pada masa itu. Indonesia sempat dininabobokan dengan subsidi. “Saat ini produksi 800.000 barel per hari, namun tingkat konsumsinya 1,6 juta barel per hari. Sehingga mau tidak mau harus import,” ungkap Didik.

Advertisement

Menurut UU 22/2001 mengatur Pelaksana dan Pemegang Kebijakan Migas. “Dulu namanya BP Migas, sekarang SKK Migas adalah pelaksana hulu. Sementara pemegang kebijakan migas yaitu pemerintah. Jangan ada yang mengatakan migas milik area tertentu dimana cadangan migas berada, seperti Papua, Bojonegoro, dan lainnya. Sebab migas adalah milik bangsa Indonesia. Karena ada di area tersebut, maka pihak yang diamanahi diberikan kewenangan mengelola. Salah satunya pihak asing, selain Pertamina. Dan semua adalah aset milik bangsa Indonesia,” tukas Didik.

Senada, M. Kholid Syeirazi, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, menambahkan cadangan migas Indonesia saat ini bergeser ke wilayah Timur, seperti sekitar Riau, Kepulauan Natuna, dan lainnya, dimana lebih sulit ditemukan sumur atau tambang migas, sehingga biaya lebih tinggi $100 juta per sumur. “Tak mungkin menggunakan APBN, dimana belum tentu eksplorasi sumur tambang langsung terdapat migas. Sehingga pemerintah Indonesia melibatkan pihak asing yang lebih profesional dengan aturan dan deal tertentu. Ada yang sudah menggali lebih dari 5 sumur baru menemukan 1 sumur. Bahkan ada yang menggali hingga 22 tahun, baru menemukan sumur yang ideal. Kalau menggunakan APBN, bisa-bisa urusan subsidi pendidikan, kesehatan, dan lainnya tak pernah berjalan,” jelas Kholid.

“Sudah saatnya Indonesia berpikir energi terbarukan. Contohnya Malang, seperti TPA Supiturang sudah mulai menghasilkan energi terbarukan berupa gas menanam, juga beberapa Perguruan Tinggi menghasilkan inovasi baru energi terbarukan. Hal ini perlu dikembangkan di daerah lain, agar anak cucu kita dapat menikmati energi,” jelas Wasto, Plt Walikota Malang, yang membuka acara yang dibuat ala ILC ini. (rhd,/yan)

Advertisement
Advertisement
Lewat ke baris perkakas