Surabaya
Bersama Minimalisir Paparan Paham Radikalisme
Memontum Surabaya – Fenomena paham radikalisme kian merebak. Dilansir dari Badan Intelijen Negara (BIN), 39% mahasiswa perguruan tinggi di 15 provinsi telah terpapar radikalisme. Menanggapi fenomena itu, Ketua DPRD Jatim Halim Iskandar kian gusar. Halim mengatakan, “Saya ngomong radikal itu juga ingin berfikir radikal. Karena radikalisme harus diatasi dengan radikal. Nggak akan pernah selesai kalau tidak radikal,” katanya, usai menjadi narasumber di acara Strategi Melawan Radikalisme, Mengelolah Keberagaman dan Menguatkan Jati Diri Ke Indonesiaan di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Kamis (6/12).
Sebenarnya ia tak mempermasalahkan, karena itu adalah sebuah pilihan. Namun kalau sudah bicara tentang kebangsaan dan Indonesia, maka sebagai WNI harus sadari betul bahwa Indonesia ini lahir atas sebuah kesepakatan.
Artinya, tidak ada perbedaan pandangan secara substansi antara tokoh-tokoh pendiri bangsa pada saat itu tentang bentuk NKRI. Dari berbagai suku bangsa, agama kemudian musyawarah mufakat.
“BPUPKI itu gak ada voting disitu. Dan musyawarah mufakat itu memutuskan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI bukan dibuat atas dasar guyonan, cangkrukkan segala macam, tapi ini dirumuskan secara serius oleh kakek-kakek dan buyut kita,” tandasnya.
Itu adalah pilihan, lanjutnya, karena rakyat Indonesia sudah memilih mufakat itu, ia merasa sebagai WNI yang baik, harusnya menghormati dan mengikuti yang telah disepakati oleh nenek moyangnya. “Kalau tidak mau ikut ya jangan disini,” tegas Halim.
Halim mencontohkan cara pandang Gus Dur dalam menanggapi masalah. Saat itu ketika masih menjadi Presiden Gus Dur mendapati adanya laporan tentang banyak orang yang tidak menghormati bendera saat upacara.