Kota Malang

Perpajakan UB Minta Peninjauan Kembali RUU Konsultan Pajak

Diterbitkan

-

Perpajakan UB Minta Peninjauan Kembali RUU Konsultan Pajak

Memontum Kota Malang – Saat ini, DPR sedang menggodok RUU tentang Konsultan Pajak yang baru. Hanya saja, RUU tersebut menggelisahkan berbagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan Program Studi S1 Perpajakan di seluruh Indonesia, salah satunya Prodi S1 Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB. Sebab dalam RUU Konsultan Pajak tersebut, siapapun dan profesi apapun bisa mendapatkan sertifikasi Konsultan Pajak setelah mengikuti rangkaian Brevet, dan berhak melaksanakan profesi Konsultan Pajak. Dimana sertifikasi tersebut dikeluarkan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) saja. Tentunya kebijakan ini beraroma monopoli.

“Sementara S1 Prodi Perpajakan harus menempuh perkuliahan 4 tahun atau lebih. Dan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no 111, lulusan Perpajakan diakui untuk menjadi Konsultan Pajak. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan RUU Konsultan Pajak, dan lebih memudahkan yang bersertifikasi dengan pendidikan jangka pendek dengan perlindungan RUU Konsultan Pajak yang secara hukum lebih tinggi,” jelas Dr Saparilla Worokinasih, M.Si, Kaprodi S1 Perpajakan FIA UB, dalam jumpa persnya usai Diskusi Terbatas bertajuk Posisi dan Pandangan Akademisi serta Konsultan Atas Profesi Pajak, di ruang seminar Gedung B lantai II FIA UB, Senin (26/8/2018) sore.

Dr. Saparilla Worokinasih, M.Si. (rhd)

Dr. Saparilla Worokinasih, M.Si. (rhd)

Jika RUU ini diberlakukan, maka semua Konsultan Pajak yang tidak melewati sertifikasi di IKPI, namun tetap menjalankan kegiatan konsultasi pajak bagi WJOP sebagaimana yang dilakukan para dosen dan alumni Prodi S1 Perpajakan saat ini, baik secara sukarela atau pengabdian, bisa dijerat Hukum Pidana atau Perdata, tergantung jenis pelanggarannya.

Sejak muncul pada Juni 2018, RUU tersebut cukup menggelitik kami. Bagai bisa cukup beberapa bulan belajar Perpajakan, kemudian berbekal sertifikasi bisa menjadi Konsultan Pajak. Sementara yang berkuliah di bidang tersebut, namun belum bersertifikat dianggap tidak memenuhi. Atau dengan kata lain, proses perkuliahan dianggap nol atau dinafikan. Tentunya ada perlakuan tidak adil bagi sarjana perpajakan yang menempuh pendidikan lebih lama,” terang Saparilla

Urgensinya, menurut Saparilla, keberlangsungan konsultan pajak dalam mendukung pelaksanaan perpajakan di Indonesia sebagai sumber dana pembangunan negara ini vital. “Tentunya RUU Konsultan Pajak tersebut perlu dikaji publik kembali. Selayaknya ada pertimbangan hak asasi untuk yang terbaik bagi bangsa dan negara. Semua pihak terkait telah menyuarakan hal ini hampir di semua jenjang,” ungkap Saparilla.

Advertisement

Meski diakui, lanjut Saparilla, lebih dari 70 persen lulusan S1 Perpajakan tidak bekerja pada profesi Konsultan Pajak. Namun, pihaknya menginginkan keadilan dan peninjauan kembali RUU Konsultan Perpajakan tersebut. Karena dikhawatirkan keilmuan Perpajakan secara utuh akan mengalami degradasi, mengingat mahasiswa siswa peminat prodi Perpajakan akan enggan memilih karena kekhawatiran mindset peluang kerja yang terbatas.

Dalam Diskusi Terbatas tersebut dihadiri oleh Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) RI Hidayat Amir, PhD, Kabag Biro Orga dan Ketatalaksanaan Sekjen Kementerian Keuangan RI Dr Imam Sofyan, MM, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Jakarta Darussalam, SE, Ak, CA, dan para akademisi dari Prodi S1 Perpajakan se-Jawa Timur, serta para Ketua Tax Center se-Jawa Timur. (rhd/yan)

Advertisement
Lewat ke baris perkakas